Sunday, November 30, 2025

Mempertahankan Urapan dan Kuasa yang ada didalam diri hamba Tuhan


 


URAPAN DAN KUASA

Dalam Perjanjian Lama, urapan dilakukan dengan menuangkan minyak ke kepala seseorang sebagai tanda bahwa orang itu dipilih dan ditetapkan Allah untuk tugas tertentu dan urapan memisahkan seseorang untuk tugas khusus atau bukan tugas biasa. Dalam Alkitab, kata “kuasa” sering diterjemahkan dari dua kata Yunani: Dunamis,  Kuasa yang bekerja, kemampuan supranatural. Exousia, Kuasa otoritas, hak untuk bertindak. Ini menunjuk pada kekuatan Allah yang aktif, yang membuat seseorang dapat melakukan sesuatu yang melampaui kemampuan manusia. Ini bukan sekadar kekuatan, tetapi hak sah yang diberikan Allah. Alkitab menjelaskan kuasa Allah tidak dapat diperoleh dengan usaha manusia, melainkan melalui pencurahan Roh Kudus. Urapan dan Kuas, keduanya membentuk pemahaman lengkap tentang kuasa Allah dalam hidup manusia.

HIDUP DALAM URAPAN DAN KUASA

Ketika seorang pendeta atau hamba Tuhan kehilangan urapan dan kuasa, hal itu bukan terjadi dalam sekejap, melainkan melalui proses perlahan ketika hati mulai jauh dari Tuhan. Pelayanan tetap berjalan, tetapi hubungan pribadi dengan Allah melemah; ketika aktivitas rohani terus dilakukan, tetapi kepekaan terhadap suara Roh Kudus memudar. Hilangnya urapan bukan ditandai oleh berkurangnya kemampuan berkhotbah atau memimpin, melainkan ketika pekerjaan pelayanan dilakukan tanpa hadirat Tuhan; ketika kata-kata tetap keluar, namun tidak lagi menembus hati; ketika pelayanan menjadi rutinitas, bukan lagi panggilan. Kuasa hilang ketika manusia menggantikan ketergantungan kepada Roh Kudus dengan kekuatan diri, popularitas, dan reputasi. Inilah bahaya terbesar seorang hamba Tuhan: terlihat kuat di luar, namun kosong di dalam. 

Belajar dari Saul yang kehilangan urapan dan kuasa, mengajarkan kita bahwa kejatuhan seorang hamba Tuhan tidak dimulai dari kegagalan besar, tetapi dari hati yang perlahan menjauh dari ketaatan. Saul awalnya dipilih, diurapi, dan diperlengkapi Roh Allah, namun ketika ia mulai lebih mengandalkan dirinya sendiri daripada Tuhan, urapan itu surut dari hidupnya. Ia kehilangan kuasa bukan karena musuhnya lebih kuat, tetapi karena ia menolak arahan Allah, menutupi dosa, dan membiarkan kesombongan menguasai hati. Kisah Saul memperingatkan kita bahwa karunia bisa tetap tampak bekerja, namun tanpa ketaatan, kerendahan hati, dan hubungan yang terus dijaga dengan Tuhan, urapan itu akhirnya meninggalkan seseorang. Dari Saul kita belajar bahwa yang memelihara urapan bukanlah talenta, posisi, atau pengalaman, tetapi hati yang terus mendekat, tunduk, dan bergantung penuh kepada Allah setiap hari.

Alkitab menunjukkan bahwa urapan dan kuasa tidak pernah dimaksudkan untuk dipisahkan dari karakter, ketaatan, dan orientasi hati. Oleh karena itu, ada dua sikap fundamental yang harus dipelihara oleh setiap hamba Tuhan agar urapan dan kuasa itu tidak lenyap seperti yang terjadi pada Saul, melainkan terus tinggal, bertumbuh, dan menghasilkan buah rohani yang memuliakan Allah;

1. Fokus membangun pelayanan hanya untuk nama Tuhan, bukan meninggikan nama sendiri

Teologi Alkitab menegaskan bahwa semua pelayanan harus berpusat pada kemuliaan Allah, bukan pada ambisi manusia. Yesus sendiri berkata, “Bapa-Ku dipermuliakan jika kamu berbuah banyak” (Yoh. 15:8), menunjukkan bahwa tujuan dari setiap karya rohani adalah meninggikan Allah, bukan popularitas pelayan-Nya. Ketika pelayanan menjadi sarana untuk mencari pengakuan, pujian, otoritas, atau posisi, maka fokus hati bergeser dari Kerajaan Allah menuju kerajaan pribadi. Inilah titik awal pudarnya urapan.

Dalam Perjanjian Lama, Saul gagal karena ia lebih memikirkan reputasinya di hadapan manusia daripada perintah Tuhan. Ia mendirikan tugu bagi dirinya (1 Sam. 15:12), sebuah simbol kesombongan spiritual yang menggeser pusat penyembahan dari Allah ke diri sendiri. Urapan dan kuasa tidak dapat tinggal dalam hati yang terbelah, sebab Allah tidak akan membagi kemuliaan-Nya dengan siapa pun (Yes. 42:8). Seorang hamba Tuhan yang menjaga urapan dan kuasanya harus terus menerus memurnikan motivasi pelayanannya, memastikan bahwa setiap tindakan baik yang tampak maupun tersembunyi dilakukan untuk menyatakan siapa Allah, bukan siapa dirinya. Ketika nama Tuhan ditinggikan, urapan dan kuasa mengalir; ketika nama sendiri dijunjung, Roh perlahan menjauh pertanda urapan dan kuasa menghilang.

 2. Fokus pada Allah dan Agenda-Nya, Bukan pada Orang Lain

Sikap kedua yang menopang keberlangsungan urapan dan kuasa adalah fokus yang sepenuhnya terarah kepada Allah dan agenda-Nya. Pelayanan sering kali terjebak dalam dinamika relasional: pendapat manusia, tekanan jemaat, opini publik, bahkan persaingan antarpelayan. Jika seorang hamba Tuhan lebih digerakkan oleh reaksi manusia daripada kehendak Allah, ia akan kehilangan sensitivitas terhadap suara Roh Kudus. Paulus mengingatkan bahwa seorang pelayan Kristus tidak mencari “kesukaan manusia,” sebab jika ia masih mencoba menyenangkan manusia, “maka ia bukanlah hamba Kristus” (Gal. 1:10).

Fokus pada orang lain, baik untuk menyenangkan atau menyaingi, melahirkan pola pelayanan yang rapuh: mudah tersinggung, mudah terseret ambisi, dan kehilangan kepekaan rohani. Tetapi fokus pada Allah melahirkan keteguhan, ketenangan, dan kejelasan panggilan. Hamba Tuhan yang memusatkan pandangannya kepada agenda ilahi akan memiliki orientasi pelayanan yang stabil dan kokoh, karena ia bergerak berdasarkan kehendak Tuhan, bukan fluktuasi emosi atau kebutuhan validasi manusia. Urapan dan kuasa hanya dapat tinggal dalam pribadi yang berjalan seirama dengan Roh (Gal. 5:25), bukan dalam pribadi yang dikendalikan oleh opini atau tekanan dari luar.

Saul adalah gambaran tragis dari seorang pemimpin yang kehilangan arah rohani karena fokusnya bergeser dari Allah kepada manusia. Alih-alih menjalankan agenda ilahi sebagai raja memimpin bangsa, menegakkan kebenaran, dan membawa Israel tetap berada dalam kehendak Tuhan. Saul justru terjebak dalam obsesi memburu Daud, seorang yang tidak bersalah dan bahkan menjadi alat Allah baginya. Semakin kuat rasa cemburu dan ketakutannya, semakin jauh ia menjauh dari tujuan Allah, sehingga seluruh energinya dihabiskan bukan untuk membangun kerajaan Tuhan, melainkan untuk melawan seseorang yang justru diurapi oleh Tuhan. Dengan mengejar Daud, Saul sesungguhnya sedang meninggalkan Allah; dengan memusatkan perhatiannya kepada ancaman yang ia ciptakan sendiri, ia gagal melihat panggilan dan amanat Allah atas hidupnya. Kisah Saul memperingatkan bahwa fokus pada manusia, baik karena iri, takut, atau ingin dihormati, akan selalu menggeser kita dari agenda Allah dan membuat kita kehilangan urapan dan kuasa yang seharusnya memampukan kita melayani-Nya dengan setia.

Urapan dan kuasa bukan hanya hadiah rohani, tetapi tanggung jawab spiritual yang menuntut orientasi hati yang benar. Dua sikap, pertama memusatkan pelayanan kepada kemuliaan Tuhan, dan kedua menjaga fokus pada Allah serta agenda-Nya, menjadi fondasi teologis agar seorang hamba Tuhan tidak kehilangan urapan dan kuasa seperti Saul, tetapi terus memancar seperti Daud, para nabi, dan rasul. Ketika hati seorang pelayan murni, pusat hidupnya Allah, dan arah pelayanannya jelas, maka urapan dan kuasa tidak hanya tinggal, tetapi akan bertumbuh, mengalir, dan membawa dampak yang melampaui batas kemampuan manusia. Urapan tinggal di tempat di mana Allah menjadi pusat segala sesuatu. Ketika seorang hamba Tuhan kehilangan urapan, maka yang tersisa hanyalah jabatan; dan ketika visi seorang hamba Tuhan kehilangan kuasa, maka yang tinggal hanyalah program.


No comments:

Post a Comment

Cara Menghindarkan Diri Dari Kebodohan Rohani

  Tips Menghidar Dari Kebodohan Rohani Orang  Bodoh Perkataan Yesus kepada dua murid dalam perjalanan ke Emaus,  “Hai kamu orang yang bodo...