URAPAN DAN KUASA
Dalam Perjanjian Lama, urapan dilakukan dengan menuangkan minyak ke kepala seseorang sebagai tanda bahwa orang itu dipilih dan ditetapkan Allah untuk tugas tertentu dan urapan memisahkan seseorang untuk tugas khusus atau bukan tugas biasa. Dalam Alkitab, kata “kuasa” sering diterjemahkan dari dua kata Yunani: Dunamis, Kuasa yang bekerja, kemampuan supranatural. Exousia, Kuasa otoritas, hak untuk bertindak. Ini menunjuk pada kekuatan Allah yang aktif, yang membuat seseorang dapat melakukan sesuatu yang melampaui kemampuan manusia. Ini bukan sekadar kekuatan, tetapi hak sah yang diberikan Allah. Alkitab menjelaskan kuasa Allah tidak dapat diperoleh dengan usaha manusia, melainkan melalui pencurahan Roh Kudus. Urapan dan Kuas, keduanya membentuk pemahaman lengkap tentang kuasa Allah dalam hidup manusia.
HIDUP DALAM URAPAN DAN KUASA
Ketika seorang pendeta atau hamba Tuhan kehilangan urapan dan kuasa, hal itu bukan terjadi dalam sekejap, melainkan melalui proses perlahan ketika hati mulai jauh dari Tuhan. Pelayanan tetap berjalan, tetapi hubungan pribadi dengan Allah melemah; ketika aktivitas rohani terus dilakukan, tetapi kepekaan terhadap suara Roh Kudus memudar. Hilangnya urapan bukan ditandai oleh berkurangnya kemampuan berkhotbah atau memimpin, melainkan ketika pekerjaan pelayanan dilakukan tanpa hadirat Tuhan; ketika kata-kata tetap keluar, namun tidak lagi menembus hati; ketika pelayanan menjadi rutinitas, bukan lagi panggilan. Kuasa hilang ketika manusia menggantikan ketergantungan kepada Roh Kudus dengan kekuatan diri, popularitas, dan reputasi. Inilah bahaya terbesar seorang hamba Tuhan: terlihat kuat di luar, namun kosong di dalam.
Belajar dari Saul yang kehilangan urapan dan kuasa, mengajarkan kita bahwa kejatuhan seorang hamba Tuhan tidak dimulai dari kegagalan besar, tetapi dari hati yang perlahan menjauh dari ketaatan. Saul awalnya dipilih, diurapi, dan diperlengkapi Roh Allah, namun ketika ia mulai lebih mengandalkan dirinya sendiri daripada Tuhan, urapan itu surut dari hidupnya. Ia kehilangan kuasa bukan karena musuhnya lebih kuat, tetapi karena ia menolak arahan Allah, menutupi dosa, dan membiarkan kesombongan menguasai hati. Kisah Saul memperingatkan kita bahwa karunia bisa tetap tampak bekerja, namun tanpa ketaatan, kerendahan hati, dan hubungan yang terus dijaga dengan Tuhan, urapan itu akhirnya meninggalkan seseorang. Dari Saul kita belajar bahwa yang memelihara urapan bukanlah talenta, posisi, atau pengalaman, tetapi hati yang terus mendekat, tunduk, dan bergantung penuh kepada Allah setiap hari.
Alkitab menunjukkan bahwa urapan dan kuasa tidak pernah dimaksudkan untuk dipisahkan dari karakter, ketaatan, dan orientasi hati. Oleh karena itu, ada dua sikap fundamental yang harus dipelihara oleh setiap hamba Tuhan agar urapan dan kuasa itu tidak lenyap seperti yang terjadi pada Saul, melainkan terus tinggal, bertumbuh, dan menghasilkan buah rohani yang memuliakan Allah;
1. Fokus membangun pelayanan hanya untuk nama Tuhan, bukan meninggikan nama sendiri
Teologi Alkitab menegaskan bahwa
semua pelayanan harus berpusat pada kemuliaan Allah, bukan pada ambisi manusia.
Yesus sendiri berkata, “Bapa-Ku dipermuliakan jika kamu berbuah banyak” (Yoh.
15:8), menunjukkan bahwa tujuan dari setiap karya rohani adalah meninggikan
Allah, bukan popularitas pelayan-Nya. Ketika pelayanan menjadi sarana untuk
mencari pengakuan, pujian, otoritas, atau posisi, maka fokus hati bergeser dari
Kerajaan Allah menuju kerajaan pribadi. Inilah titik awal pudarnya urapan.
Dalam Perjanjian Lama, Saul gagal
karena ia lebih memikirkan reputasinya di hadapan manusia daripada perintah
Tuhan. Ia mendirikan tugu bagi dirinya (1 Sam. 15:12), sebuah simbol
kesombongan spiritual yang menggeser pusat penyembahan dari Allah ke diri
sendiri. Urapan dan kuasa tidak dapat tinggal dalam hati yang terbelah, sebab
Allah tidak akan membagi kemuliaan-Nya dengan siapa pun (Yes. 42:8). Seorang
hamba Tuhan yang menjaga urapan dan kuasanya harus terus menerus memurnikan
motivasi pelayanannya, memastikan bahwa setiap tindakan baik yang tampak maupun
tersembunyi dilakukan untuk menyatakan siapa Allah, bukan siapa dirinya. Ketika
nama Tuhan ditinggikan, urapan dan kuasa mengalir; ketika nama sendiri
dijunjung, Roh perlahan menjauh pertanda urapan dan kuasa menghilang.
Sikap kedua yang menopang
keberlangsungan urapan dan kuasa adalah fokus yang sepenuhnya terarah kepada
Allah dan agenda-Nya. Pelayanan sering kali terjebak dalam dinamika relasional:
pendapat manusia, tekanan jemaat, opini publik, bahkan persaingan antarpelayan.
Jika seorang hamba Tuhan lebih digerakkan oleh reaksi manusia daripada kehendak
Allah, ia akan kehilangan sensitivitas terhadap suara Roh Kudus. Paulus
mengingatkan bahwa seorang pelayan Kristus tidak mencari “kesukaan manusia,”
sebab jika ia masih mencoba menyenangkan manusia, “maka ia bukanlah hamba
Kristus” (Gal. 1:10).
Fokus pada orang lain, baik untuk
menyenangkan atau menyaingi, melahirkan pola pelayanan yang rapuh: mudah
tersinggung, mudah terseret ambisi, dan kehilangan kepekaan rohani. Tetapi fokus
pada Allah melahirkan keteguhan, ketenangan, dan kejelasan panggilan. Hamba
Tuhan yang memusatkan pandangannya kepada agenda ilahi akan memiliki orientasi
pelayanan yang stabil dan kokoh, karena ia bergerak berdasarkan kehendak Tuhan,
bukan fluktuasi emosi atau kebutuhan validasi manusia. Urapan dan kuasa hanya
dapat tinggal dalam pribadi yang berjalan seirama dengan Roh (Gal. 5:25), bukan
dalam pribadi yang dikendalikan oleh opini atau tekanan dari luar.
Saul adalah gambaran tragis dari
seorang pemimpin yang kehilangan arah rohani karena fokusnya bergeser dari
Allah kepada manusia. Alih-alih menjalankan agenda ilahi sebagai raja memimpin
bangsa, menegakkan kebenaran, dan membawa Israel tetap berada dalam kehendak
Tuhan. Saul justru terjebak dalam obsesi memburu Daud, seorang yang tidak
bersalah dan bahkan menjadi alat Allah baginya. Semakin kuat rasa cemburu dan
ketakutannya, semakin jauh ia menjauh dari tujuan Allah, sehingga seluruh
energinya dihabiskan bukan untuk membangun kerajaan Tuhan, melainkan untuk
melawan seseorang yang justru diurapi oleh Tuhan. Dengan mengejar Daud, Saul
sesungguhnya sedang meninggalkan Allah; dengan memusatkan perhatiannya kepada
ancaman yang ia ciptakan sendiri, ia gagal melihat panggilan dan amanat Allah
atas hidupnya. Kisah Saul memperingatkan bahwa fokus pada manusia, baik karena
iri, takut, atau ingin dihormati, akan selalu menggeser kita dari agenda Allah
dan membuat kita kehilangan urapan dan kuasa yang seharusnya memampukan kita
melayani-Nya dengan setia.
Urapan dan kuasa bukan hanya hadiah rohani, tetapi tanggung jawab spiritual yang menuntut orientasi hati yang benar. Dua sikap, pertama memusatkan pelayanan kepada kemuliaan Tuhan, dan kedua menjaga fokus pada Allah serta agenda-Nya, menjadi fondasi teologis agar seorang hamba Tuhan tidak kehilangan urapan dan kuasa seperti Saul, tetapi terus memancar seperti Daud, para nabi, dan rasul. Ketika hati seorang pelayan murni, pusat hidupnya Allah, dan arah pelayanannya jelas, maka urapan dan kuasa tidak hanya tinggal, tetapi akan bertumbuh, mengalir, dan membawa dampak yang melampaui batas kemampuan manusia. Urapan tinggal di tempat di mana Allah menjadi pusat segala sesuatu. Ketika seorang hamba Tuhan kehilangan urapan, maka yang tersisa hanyalah jabatan; dan ketika visi seorang hamba Tuhan kehilangan kuasa, maka yang tinggal hanyalah program.

No comments:
Post a Comment